
Pelatihan kerja, apabila dilakukan dengan seksama dan bijaksana dapat digunakan untuk menyelesaikan problem kelompok maupun problem spesifik individual.
Dalam kaitan ini, Larry L Lambert, konsultan dan spesialis traning, memberikan pemikiran agar pelatihan kerja yang kita lakukan berdayaguna maksimal.
Ada yang berpendapat, pelatihan kerja bukanlah pengganti bagi manajemen yang baik atau metode pengobatan permanen bagi problem-problem kompleks sebuah organisasi atau perusahaan.
Namun, apabila dilakukan dengan seksama dan bijaksana, pelatihan kerja merupakan alat yang ampuh.
Sayangnya, demikian kata Lambert dalam Personnel Journal, hanya sedikit saja orang yang menyadari betapa pentingnya arti training.
Boleh jadi, itu terjadi karena penyelenggaraan yang pernah dilakukan tidak memadai atau tidak mendukung bagi berkembangnya.
Training yang baik mampu menyelesaikan problem-problem dalam perusahaan bersangkutan.
Padahal problem seringkali membawa kemacetan dalam hubungan antara pelaksanaan dengan target kelompok disebabkan oleh prasangka atau ketidakpercayaan yang terbina sejak lama.
Ahli training ini berpendapat, sebenarnya setiap problem manajerial dan perusahaan muncul akibat tiga faktor, yakni:
- Konteks. Dalam hal ini termasuk tradisi, tujuan, kebijaksanaan dan aturan-aturan, garis komando, fasilitas, dan lain sebagainya.
- Proses. Yakni pola-pola pengambilan keputusan yang biasanya berlaku, arus informasi, serta peroleh-an dan distribusi sumberdaya yang dapat digolongkan sebagai elemen proses.
- Tingkah laku. Yang dimaksud adalah, bagaimana individu-individu di dalam organisasi memberikan respons dan akomodasi terhadap tuntutan-tuntutan konteks dan proses tadi.
Ketiga faktor problem yang disebutkan di atas, dalam kenyataan saling berhubungan erat.
Itu sebabnya, setiap usaha untuk membuat semuanya lebih baik, biasanya memerlukan suatu penyesuaian dari faktor-faktor tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan

Menurut Lambert, training adalah lebih dari sekedar pengetahuan tentang sesuatu yang baru.
Dan dalam prakteknya, training tampak sebagai sesuatu yang Anda lakukan untuk orang lain agar orang lain itu melakukan sesuatu yang lain dari sebelumnya yaitu suatu perubahan atau peningkatan ke arah yang dinginkan.
Dinyatakan bahwa training akan segera kehilangan artinya, apabila dalam perencanaannya tidak melibatkan/mengacu kepada konteks dan proses yang sebenarnya terjadi dalam organisasi.
Agar efektif, training pertama-tama haruslah menjadi jembatan antara change agent dengan change group.
Melalui jembatan ini, informasi yang akurat dan valid mengalir dari kedua belah pihak (yakni pihak yang akan mengubah, change agent, dan pihak atau kelompok yang akan diubah, change group), hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk membuat keputusan.
Suatu program training akan kedodoran atau mudah diserang kritik, apabila:
- Tidak relevan dengan realitas yang ada di dalam organisasi.
- Tidak cukup efektif untuk membawa perubahan-perubahan yang dikehendaki.
Apabila sejak awal saja kita sudah melakukan satu atau dua kesalahan, niscaya akhir program akan gagal dalam arti program tersebut tidak relevan.
Lantas, bagaimana merancang dan menyelenggarakan program training agar efektif dan relevan dengan keadaan dan tujuan yang ingin dicapai?
Berikut, sembilan butir bahan pertimbangan yang di-ajukan oleh Lambert:
1. Focus your resources.
Sumber daya yang dapat dialokasikan atau digunakan untuk training akan selalu tampak tidak memadai.
Tantangannya adalah, bukan sejauh mana sumberdaya itu dapat dibagi-bagikan, melainkan bagaimana sumberdaya itu dapat digunakan secara bijaksana dan efektif. Karena itu, fokuskan sumberdaya yang ada.
2. Define the audience.
Yang dimaksud adalah menetapkan siapa yang dapat atau tidak dapat diajak untuk mengatasi problem yang dihadapi.
Dengan melakukan identifikasi peserta training yang diperkirakan mempunyai kebutuhan bersama, program dapat dibuat secara akurat untuk peserta yang memang membutuhkan.
3. Let them tell you the problems.
Keliru sekali kalau menganggap bahwa training dapat secepatnya menyelesaikan problem.
Barangkali sama seperti Anda menyiapkan jawaban sebelum Anda sendiri mengetahui apa pertanyaannya.
Perusahaan mungkin dapat menunjukkan kepada Anda apa yang menjadi problem itu bila dilihat sepintas.
Namun sebenarnya, hanya orang yang bersangkutan saja yang dapat memberikan informasi tentang problem yang mereka hadapi dengan akurat dan benar.
Jadi, sekali lagi ikut sertakanlah khalayak atau individu yang memang betul-betul terlibat dalam problem yang dihadapi.
4. Do practical programs.
Pertama-tama, buatlah program training yang praktis untuk peserta. Staf pengajar hendaklah mereka yang kompeten, hingga menjamin program yang benar-benar praktis dan memungkinkan berlangsungnya proses alih pengetahuan dengan lancar.
Tanamkan dalam benak bahwa Anda menghendaki agar masyarakat dan lingkungan kerja Anda menjadi lebih baik.
5. Make it real.
Buatlah contoh-contoh kasus yang relevan, yang mirip dengan situasi dan kondisi kerja mereka sehari-hari, hingga memungkinkan peserta training dapat mentransfer apa yang diperoleh di kelas ke tempat kerja.
Ini akan mendorong ketika mereka menghadapi problem yang nyata munculnya jawaban-jawaban yang praktis.
6. Tell it like it is.

Kredibilitas training tergantung kepada penilaian peserta, serta bagaimana staf pengajar mendekatkan kesenjangan di antara citra/keinginan perusahaan dengan pengalaman peserta.
Di sini, suatu program akan diuji dalam menentukan apakah ia dapat dipakai sebagai alat untuk mengontrol perusahaan/pelaksanaan atau tidak.
Sebagai alat perubahan, program training dapat menolong karyawan/peserta training untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang cukup.
Perlu diingat bahwa tujuan training bukanlah untuk menilai atau menyelesaikan suatu problem, melainkan untuk menggambarkan secara tepat problem yang ada.
Karena itu, sebelum Anda memilih atau memutuskan sesuatu, segala sesuatunya harus jelas dahulu. Ini suatu dalil penting.
7. Spread the program over time.
Sangat langka bahwa suatu perubahan dapat terjadi hanya dengan sekali gebrakan.
Program, karena itu, hendaknya dibagi dalam satuan-satuan waktu dengan mempertimbangkan tuntutan dan jadwal kerja peserta.
8. Get the boss involved.
Melibatkan boss dalam perencanaan berarti memungkinkan boss mengikuti dan melihat secara seksama setiap penugasan dan perubahan yang terjadi.
Dan di akhir program, kita bisa mengirim kepada boss laporan berupa memo singkat tentang apa yang dilakukan dan apa yang diharapkan sebagai hasil program.
9. Use the program to sense new problem and generate data.
Hubungan antar para peserta maupun dengan atasan mereka akan mendeteksi problem-problem baru dan apa yang menjadi keluhan/keprihatinan mereka.
Dalam hal ini, sebaiknya tidak memakai hanya seorang pengamat/pendeteksi saja. Guna-nya adalah untuk memungkinkan pertukaran informasi dan mengurangi subyektivitas.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai cara meningkatkan efektivitas training atau pelatihan kerja.
Semoga informasi di atas dapat bermanfaat dan berguna bagi Anda para trainer di perusahaan agar lebih maksimal lagi dalam membangun dan meningkatkan skill karyawan.
Buat Anda yang termasuk fresh graduate atau sedang mencari pekerjaan baru, Anda bisa mendapatkan informasi lowongan kerja di halaman Info Loker.